Think out Loud: A or B?, Writing Projects and Challenges

Case 1: Sekolah Bonafide atau Sekolah Pedalaman

Menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah. “Bukan muduhnya’ menjadi seorang guru bukan hanya karena dihadapkan dengan pilihan-pilihan dan kondisi-kondisi tertentu yang perlu pertimbangan matang. Bahkan beberapa orang mungkin merasa hanya untuk memilih memutuskan untuk menjadi seorang guru saja pun adalah sebuah keputusan yang tidak mudah.

Kemudian kita mungkin bakal bertanya, “apanya yang tidak mudah?”

Well, jawabannya kembali kepada siapa subjek yang membuat keputusan. Stereotip yang ada menunjukkan kalau guru bukanlah menjadi profesi yang terlalu diminati karena dianggap tidak elite dan memiliki pendapatan terbatas dibandingkan dengan profesi lainnya. Untuk pertanyaan tadi, itulah yang menjadikan seseorang tidak mudah untuk memutuskan memilih menjadi seorang guru.

Menjadi guru, sederhana, adalah panggilan jiwa–sama halnya dengan profesi lainnya. Seseorang yang memilih–dalam hal ini sengaja memilih, bukan terpaksa memilih–tidak akan terlalu menimbang berat dalam hal ketidakelitan menjadi seorang guru dan/atau rendahnya angka Rupiah yang akan masuk ke kantongnya diawal bulan.

Dari beberapa hal yang abang lihat menjadi pertimbangan seseorang saat menjadi seorang guru adalah: di mana dia akan mengajar. Sekolah yang bagaimana tempatnya mengajar, bagaimana peserta didik yang akan diajarnya, dan di wilayah mana dia akan mengajar.

Salah, kah? Nggak. Nggak ada yang salah dengan pilihan manapun yang kamu pilih. Seperti kata salah seorang teman abang:

“Mau sekolah bonafide atau pedalaman,
tetap saja dia seorang guru.”

Pernyataan itu salah? Juga tidak. Yang abang pikirkan ketika membaca pernyataan itu adalah: “kalau memang begitu, maukah seorang guru yang saat ini sedang mengajar di sekolah bonafide–dengan kondisi sarana dan prasarana sekolah lengkap dan  berada di wilayah yang tergolong urban–dipindahkan untuk mengajar di sekolah yang berada di pedalaman? Hm.

Dari survei yang abang buat kemarin di sini, 7 orang lebih memilih mengajar di sekolah bonafide dan 6 orang lainnya memilih mengajar di sekolah pedalaman. Dan hasil itu sesuai dengan perkiraan abang.

Dari sekian orang yang meninggalkan respon, hanya satu orang yang meninggalkan alasan atas pilihan yang dibuatnya. Dia memilih untuk mengajar di sekolah binafide. Sekarang ini dia sedang mengajar, tapi dia menganggap tempatnya sekarang mengajar termasuk ke dalam pilihan kedua dan dia berharap bisa mengajar di sekolah bonafide.

Dari beberapa alasan yang sebelumnya sempat abang pikirkan, alasan yang muncul adalah soal kualitas sekolah. Tidak muluk-muluk, siapa yang tidak mau mengajar di sekolah yang kualitasnya tidak diragukan, berprestasi lebih dibandingkan sekolah lain, memiliki sarana dan prasarana yang lengkap; sudah begitu pendapatannya juga menggiurkan. Kalau abang ditawarkan untuk mengajar di sekolah yang demikian, abang juga nggak mau nolak.

Poin di ataslah yang membawa abang ke pilihan abang sendiri, sekolah bonafide atau sekolah pedalaman?

Abang pilih sekolah pedalaman.

Biar dianggap berjasa? Bukan. Mirip pernyataan teman abang di atas tadi, setiap guru pasti berjasa. But, think it through. Dari mata kuliah Perkembangan Peserta Didik yang abang dapat waktu kuliah dulu, ini sedikit yang abang dapat, katanya:

Tujuan pendidikan adalah membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu; memanusiakan manusia.

Sudah, sesederhana itu. Ketika kamu mengajar di sekolah binafide, abang jamin kualitas dan kapabilitas peserta didiknya berada di atas mereka yang bersekolah di pedalaman. Ada tidaknya sarana dan prasarana, kondisi sarana prasarana, dan bahkan dukungan dana dari orang tua pasti mempengaruhi bagaimana pencapaian peserta didik di sekolah. Kira-kira bagaimana dengan mereka yang bersekolah di pedalaman? Di mana, sejauh yang abang lihat dari pengalaman orang lain, sarana dan prasarana mereka jauh lebih terbatas dibandingkan mereka yang berada di kawasan urban.

Kembali ke salah satu tujuan pendidikan, abang lebih memilih menjadi bagian dari proses membuat orang yang tidak tahu (lebih) banyak menjadi tahu lebih banyak. Menjadi lebih kreatif dengan keterbatasan yang menjadi pembatas seseorang untuk belajar. Menjadi sadar kalau tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama dan bahkan tidak sepadan dengan kesempatan yang pernah abang dapat.


Kasus 1, selesai. Terima kasih buat teman-teman yang sudah memberikan suara dalam survei #thinkoutloud kali ini, ya. 🙂

Think out loud case 1, closed.

Standar

2 respons untuk ‘Case 1: Sekolah Bonafide atau Sekolah Pedalaman

Komentar? Silakan...